Skip to content

Ngipatke kadonyan

September 2, 2007

Mengibaskan dunia; kursus Satipatthana Sutta pertama

Dalam rangka mencari Dewa Ruci (baca: diri sendiri), Agustus kemarin penulis mengikuti kursus Satipatthana Sutta untuk pertama kali. Menyimpang dari rencana muluk-muluk semula ingin mengikuti Satipatthana di India, cukup ke center yang dekat saja alias ke Belgia lagi deh gue.

Ditilik dari segi isi, kursus ini lebih memberi inspirasi untuk meditator serius karena diskursus malam hari membahas teknik Vipassana secara lebih mendalam dan mendasar. Dari segi otot-otot tertawa, kurang menghibur karena dikupas secara serius, hanya dua hari terakhir penulis bisa ngakak karena Goenka mejawab pertanyaan dari peserta kursus di India.

Kalau sekedar membaca Mahasatipatthana Sutta, penulis sudah baca sejak beberapa tahun lalu. Masalah ngerti atau ga, itu lain urusan šŸ™‚ . Tentu saja otak penulis yang terbatas ini ga cukup untuk menampung arti Sutta tsb dari sekedar baca. Perlu dibarengi praktek dan penjelasan Goenka baru mulai bilang dalam hati, “Ooo, gitu toch maksudnya.”

Dari hari pertama kursus kali ini sudah bikin penulis klenger, belum apa-apa sankhara sudah mbrebes keluar. Ga cuma sakit di tingkat fisik tapi mental juga kena hajar habis-habisan. Ga tanggung-tanggung enam hari penuh keluar terus-menerus. Penulis maklum apa sebabnya baru pada hari ke-5, ternyata memang “kawan” lama, insting pembunuh penulis, yang sudah sekian waktu nunggu kesempatan keluar.

Sesudah kursus selesai, penulis males langsung pulang, jadi ngeluyur dulu dua hari ke Luxembourg hehehe. Baru keluar kamp langsung badung makan ikan dan minum wine :D. Tapi, tapi… ternyata lidahnya sudah ga doyan nyawa (apalagi baru bersih-bersih gitu yak), ikannya terasa hambar. Malah sayurnya yang sekedar ditumis dengan mentega terasa jauh lebih nikmat. Satu demi satu ‘kenikmatan’ indera yang bikin ketagihan (craving) berguguran (eradicated). Hidup lama-lama jadi semakin simpel. Ngapain repot melanggar sila membunuh binatang untuk makan kalau sayur dan buah saja sudah enak? Walau di mata awam kelihatannya sih ga menikmati hidup. Apalagi dari segi latar belakang penulis budaya makan itu penting! “Bisa-bisanya lo jadi vegetaris?”

Indera pengecap dan obyeknya (rasa), seperti juga indera-indera lainnya, termasuk obyek yang bisa diamati, karena itu bisa dieradikasi, begitu katanya Mahasatipatthana Sutta šŸ™‚ . Satu demi satu dihapus, sampai suatu saat (semoga) setiap pejalan seperti Bima bisa “mengibaskan dunia” saat hendak masuk samudra untuk bertemu Dewa Ruci.

Sebagai penutup, penulis menyertakan salah satu pertanyaan menggelitik yang diajukan pada Goenka:

“I” is not. What is liberated?

Jawabnya, cari sendiri aja yah! šŸ™‚

2 Comments leave one →
  1. September 3, 2007 07:29

    sepaham, jangan sampai perut kita menjadi kuburan bagi makhluk-makhluk bernyawa.

    tapi terus terang saya menghindari daging karena rasa bosan, karena setiap hari mendapat suguhan berdaging.

    sekarang dah bisa mengurangi, tapi kadang kumat kanibalnya T_T

    Emang model kumat-kumatan. Berdasarkan pengalaman pribadi, pengen nyawa itu bukan demi rasanya sendiri. Di lidah rasanya biasa aja, nothing special, tapi karena dorongan lain (misal, lagi kumat emosi pengen marah-marah) yang naik ke permukaan. Sayangnya orang sering kali ga sadar akan emosinya, maka sibuk cari darah, yang notabene cuma simptom, bukan sumber ‘penyakit’.

  2. September 3, 2007 20:42

    Saya jadi pegetaris gara-gara kepaksa. Dulu waktu tinggal di depok, hari-hari indomi mulu. Pagi indomi. Siang indomi. Malem indomi. Untung rambut saya ga ikutan disko seperti indomi.

    Makan mie, pake sayur. Bukannya pengen sehat, apalagi gara-gara agama. Melainkan gara-gara nggak mampu beli telor. Sayurnya boleh metik ndiri. Dari belakang stadion. Entah taneman apaan. Makan aja. Yang penting halal.

    Lama-lama saya bosen makan indomi. Lalu saya makan nasi uduk aja deh. Enak. Nasi uduk pake semur tahu. Sebab saya kaga doyan jengkol, sih.

    Maap nih OOT. Bagi-bagi cerita aja sesama pegetaris.

    Kalo sekarang saya udah nggak pegetaris lagi. Kemaren-kemaren saya makan duren. (*Loh apa hubungannya?*)

    Huehehe

    ngakak dulu ah… kalo saya juga ga pegetaris dong, soalnya kadang-kadang masih makan pete… kekekeke

    orang Indonesia House neh ceritanya Bang Aip? Apa kabarnya tuh orang-orang?

Leave a comment