Skip to content

Kebahagiaan anno 2008

March 17, 2008

Weekend kemaren saya liburan pendek dengan temanku yang asli made in Tiongkok. Sama-sama sedang stres urusan kerja, jadi kita sepakat mengunjungi spa di salah satu sumber air panas di negeri tetangga. Katanya berendam air hangat dengan kadar belerang tinggi bagus buat kulit, antiseptik – maksudnya buat orang berpenyakit kulit model panu, kadas, kurap, atau kelas ringan model jerawat – atau sekedar rileks sekalian memuluskan kulit. Tapi kita pergi beneran karena perlu rileks sejenak, bukan karena sakit kulit lho!

Siangnya jalan-jalan sedikit ke pusat kota, ngalor ngidul ngobrol tiba-tiba muncul topik ‘kebahagiaan’ dalam pembicaraan kami. Singkat kata saya terkaget-kaget dengan pandangan dia tentang definisi kebahagiaan. Buatnya kebahagiaan identik dengan kecukupan di bidang materi dan kesehatan (waduh). Saat saya mencoba ngeyel,  percakapan terputus karena ada obyek menarik di depan mata (baca: toko), kontan dia merasa perlu masuk dan melihat-lihat. Setelah itu saya yang lagi cape karena flu, males ngelanjutin pembicaraan yang terputus tadi (ngeles banget yak).

Dalam hati saya meringis melihat fenomena yang tampaknya menjangkiti sebagian besar generasi muda Tiongkok sekarang. Kalau ada yang beda, silakan menginformasikan, namanya pergaulan terbatas cuma dengan orang-orang di satu bagian. Di otak saya saat ini berkeliaran banyak sekali pertanyaan…

Segitu parahkah sampai-sampai tidak bisa membedakan antara sejahtera dan bahagia? Generasi mudanya yang masuk kelas menengah ke atas, berpendidikan tinggi, hidup jelas-jelas tidak kekurangan kebutuhan primer; tapi di lain pihak, sangat miskin dalam bidang spiritualitas. Atau sebenernya kejauhan kalo mau membahas spiritualitas???

Ke mana hilangnya kebijaksanaan orang-orang Tiongkok zaman kuno? Lenyap tak berbekas? Inikah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemakmuran? Harga yang IMHO sangat mahal.

Saya ingin tahu bagaimana dia nanti saat memasuki fase usia 30-40 tahun. Umumnya usia segitu menjadi masa krisis dalam hidup manusia; hidup kok ruwet mumet, masalah lebih dari satu dan ga ada habis-habisnya?!? Ini bukan data riset tapi hasil pengamatan pribadi di tempat-tempat pencarian jalan spiritual, yang datang pertama kali paling banyak populasi umur 30-an. Tunggu saja episode berikutnya.

3 Comments leave one →
  1. Muaya in Love permalink
    May 31, 2008 11:31

    Hehehe demen sini masalah ginian. Secara karena kere, jadi perlu adanya justifikasi bahwa kekerean sini tidak berdampak apapun pada kebahagiaan sini.

    Economist have discovered, or so they think, that money doesn’t buy happiness. This idea, however, is hardly a new discover, even for economists. Adam Smith discussed people limited ability to achieve happiness by acquiring material wealth in his book: The Theory of Moral Sentiments.

    Survey asking people how happy they are are indicate that the average level of happiness has not increased over several decades, despite large increases in income per capita. Similar disconnects between happiness and income have also been found in Japan, UK, and continental Europe.

    Easterlin (1974), Layard (2005), Frey & Stutzer (2002).

    Pengen liburannnnnn………………………………

  2. April 7, 2009 17:07

    ini awalnya… mana sambungannya?

    • April 8, 2009 10:27

      belum ada sambungannya… wong orangnya udah lewat 30 dan masih gembira shopping melulu :mrgreen:

Leave a comment